Home Berita Penanganan dan Tantangan Rwanda dalam Menghentikan Wabah Virus Marburg

Penanganan dan Tantangan Rwanda dalam Menghentikan Wabah Virus Marburg

Kesehatan

Rwanda Berhasil Menghentikan Wabah Virus Marburg/(ilustrasi/@pixabay)

SUARA INDONESIA, INTERNASIONAL – Menteri Kesehatan Rwanda, Sabin Nsanzimana, secara resmi mengumumkan bahwa wabah virus Marburg yang sempat merebak di negara tersebut tidak lagi aktif.

Pada hari Minggu, 20 Oktober 2024, Nsanzimana menyampaikan kabar gembira ini setelah tidak ada infeksi baru maupun kematian yang dilaporkan dalam enam hari terakhir.

Pengumuman ini membawa angin segar bagi Rwanda yang sebelumnya melaporkan 15 kematian akibat virus mematikan tersebut.

Menurut Nsanzimana, kunci keberhasilan penanganan wabah ini adalah dengan mengidentifikasi dan mengisolasi individu-individu yang pernah terpapar virus Marburg.

Sejauh ini, Rwanda berhasil mendokumentasikan 1.146 kontak terkait perebakan virus tersebut, dan semua kasus positif diketahui berasal dari daftar kontak ini.

Berkat upaya penanganan yang cepat dan tepat, Rwanda berhasil mencegah penularan komunitas yang lebih luas.

Dirjen Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, yang hadir dalam konferensi pers di Kigali, ibu kota Rwanda, turut memuji kepemimpinan Rwanda dalam menangani wabah ini.

“Saya dapat melihat bahwa wabah ini ditangani di bawah kepemimpinan yang kuat,” ujarnya.

Meskipun demikian, Tedros menekankan bahwa kewaspadaan berkelanjutan tetap penting karena virus Marburg dikenal sebagai salah satu virus paling berbahaya di dunia.

Virus Marburg merupakan virus demam berdarah yang mirip dengan Ebola dan diyakini berasal dari kelelawar buah.

Virus ini menyebar antar manusia melalui kontak dekat dengan cairan tubuh orang yang terinfeksi atau permukaan yang telah terkontaminasi, seperti seprai dan pakaian.

Tingkat fatalitas virus Marburg sangat tinggi, dapat mencapai hingga 88% pada orang yang jatuh sakit tanpa pengobatan yang memadai.

Gejala utama yang dialami oleh pasien meliputi demam tinggi, nyeri otot, muntah, diare, dan perdarahan hebat yang dalam beberapa kasus dapat berujung pada kematian.

Wabah ini pertama kali diidentifikasi pada tahun 1967 di kota Marburg, Jerman, dan Beograd, Yugoslavia.

Sejak itu, beberapa negara di Afrika, seperti Tanzania, Kenya, Uganda, dan Ghana, juga mengalami wabah Marburg di masa lalu.

Hingga saat ini, belum ada vaksin atau pengobatan resmi yang terbukti efektif untuk menangani virus ini.

Rwanda pertama kali mengumumkan wabah Marburg pada 27 September 2024. Selama periode wabah, otoritas kesehatan Rwanda memberlakukan serangkaian tindakan pencegahan yang ketat untuk membatasi penyebaran virus.

Pemerintah melarang kontak fisik langsung di masyarakat dan menangguhkan kegiatan di sekolah serta rumah sakit.

Selain itu, acara pemakaman korban virus Marburg juga dibatasi dengan aturan ketat, termasuk larangan upacara persemayaman dan doa bersama di rumah untuk menghindari penyebaran lebih lanjut.

Sebagian besar korban yang terdampak adalah petugas kesehatan yang tertular virus saat merawat pasien di fasilitas kesehatan.

Hal ini menyoroti risiko tinggi yang dihadapi oleh para petugas medis saat menangani penyakit menular seperti Marburg.

Dalam upaya lebih lanjut, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Kigali juga mengeluarkan peringatan kepada seluruh stafnya untuk bekerja dari rumah dan menghindari datang ke kantor selama masa wabah.

Meskipun saat ini Rwanda hanya memiliki tiga kasus aktif, upaya untuk terus memantau perkembangan situasi tetap berlangsung.

WHO dan pemerintah Rwanda menekankan bahwa meski situasi terlihat terkendali, kewaspadaan tetap harus dijaga.

Pengalaman negara-negara lain yang pernah mengalami wabah Marburg menunjukkan bahwa wabah ini bisa kembali muncul jika tindakan pencegahan dan penanganan tidak dilaksanakan secara berkelanjutan.

Dengan adanya keberhasilan ini, Rwanda telah menunjukkan kapasitasnya dalam menangani wabah penyakit menular yang serius.

Langkah-langkah pencegahan, penanganan, serta isolasi kontak yang cepat dan tepat menjadi contoh yang baik bagi negara-negara lain dalam menghadapi tantangan serupa di masa depan. (*)

» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA

Pewarta : Aditya Mulawarman
Editor : Mahrus Sholih

Exit mobile version