Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah, tetapi sebagian besar penduduk masih hidup dalam kemiskinan. Fenomena ini disebut sebagai Paradoks Indonesia. Mengevaluasi pencapaian ekonomi Indonesia selama 30 tahun terakhir dengan negara lain seperti Tiongkok dan Singapura, menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih kalah jauh. Meskipun pada tahun 1985, ekonomi Tiongkok hanya 3.6 kali lebih besar dari ekonomi Indonesia, namun dalam periode tersebut, ekonomi Tiongkok tumbuh 46 kali lipat, sedangkan ekonomi Indonesia hanya tumbuh 13 kali lipat. Penelitian mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi Tiongkok disokong oleh prinsip-prinsip kapitalisme negara yang menguasai seluruh produksi penting dan sumber daya alam, di mana Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi ujung tombak pembangunan ekonomi negara. Sementara itu, Indonesia, meskipun memiliki prinsip serupa dalam konstitusi, banyak menyerahkan pengelolaan ekonomi ke mekanisme pasar, sehingga tidak secara sungguh-sungguh menjalankan Pasal 33 UUD 1945.
Saat ini, ekonomi Indonesia terjerat dalam sistem oligarki di mana perekonomian negara dikuasai oleh segelintir orang kaya, yang juga berpengaruh dalam kehidupan ekonomi dan politik bangsa. Karena itu, pengelolaan kekayaan negara merupakan keputusan politik yang menentukan apakah rakyat Indonesia akan hidup sejahtera atau miskin. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan kepemimpinan, kearifan, dan keputusan politik yang tepat. Dengan pengelolaan yang baik, Indonesia memiliki potensi untuk keluar dari paradoks yang dialaminya.
Dalam rangka memperkuat ekonomi negara, diperlukan pertumbuhan ekonomi dua digit untuk keluar dari kondisi middle income trap. Hal ini menuntut kebijakan ekonomi dan pengambilan keputusan politik yang tepat agar Indonesia dapat menjadi negara yang kuat dan terhormat. Hanya dengan strategi yang benar, manajemen yang baik, dan pemerintahan yang bersih, Indonesia dapat bangkit dan mencapai cita-cita kemerdekaannya. Oleh karena itu, diperlukan sikap pantang menyerah, kepemimpinan yang berkualitas, dan pengakuan kesalahan untuk belajar dari masa lalu agar bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang diinginkan.