28.5 C
Jakarta
HomeBeritaSerangan Ransomware ke PDNS 2 Diklasifikasikan Sebagai Aksi Terorisme Siber

Serangan Ransomware ke PDNS 2 Diklasifikasikan Sebagai Aksi Terorisme Siber

JAKARTA – Serangan ransomware dari kelompok peretas Brain Cipher telah dikonfirmasi sebagai tindakan terorisme siber. Namun, penetapan insiden serangan ini sebagai aksi terorisme siber perlu dikaji secara mendalam dengan melibatkan para praktisi keamanan siber dan pakar terorisme serta persetujuan DPR RI.

“Serangan siber jenis ransomware adalah salah satu modus utama serangan terorisme siber di mana tujuan teror dan keuntungan ekonomi penyerang dapat dicapai dalam satu kali aksi,” kata Deputy of Operation Indonesia Security Incident Response Team on Internet and Infrastructure (CSIRT.ID) MS Manggalany kepada wartawan di Jakarta, Jumat (5/7/2024).

Manggalany menjelaskan, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2022 tentang Perlindungan Infrastruktur Informasi Vital, PDNS 2 termasuk dalam definisi infrastruktur vital. Hal ini karena PDNS 2 diisi oleh ribuan aplikasi pelayanan publik yang ditujukan untuk kepentingan umum, yang diselenggarakan oleh 282 instansi pemerintah, baik kementerian, Lembaga, serta pemerintah daerah. Oleh karena itu, gangguan dalam bentuk apapun, kerusakan dan atau kehancuran yang dialami oleh infrastruktur informasi vital PDNS 2 ini dapat dikategorikan sebagai serangan terstruktur (aksi teror) terhadap pemerintah atau negara.

Menurut Manggalany, definisi terorisme siber, berbeda dengan kriminalisme siber (cyber crime), masih terus berkembang dan dinamis mengikuti perubahan motivasi, modus, jenis target, dan dampak dari berbagai serangan siber. Namun, terorisme siber setidaknya harus memenuhi enam unsur yakni aktor, motivasi, tujuan, sarana, dampak, dan korban. Pertama, aktor pelaku baik aktor yang bukan didukung oleh inisiatif negara (non-state actor), aktor yang didukung oleh inisiatif negara dan bisa dianggap sebagai pernyataan perang (cyber war), dan aktor yang berafiliasi dengan kelompok separatis.

Unsur kedua adalah motivasi, baik ideologis, sosial, ekonomi atau politik. Seringkali motivasi ini menjadi kombinasi kepentingan, karena dalam berbagai kasus, sebuah serangan siber dengan alasan terorisme, dilakukan oleh kelompok profesional yang punya motif dan tujuan ekonomi kriminal siber biasa. Unsur ketiga adalah tujuan, apakah tujuannya untuk alat kampanye memaksakan tuntutan perubahan, keyakinan/ideologis tertentu, dan gangguan sebagai alat untuk memenuhi motivasi tertentu.

Unsur keempat adalah sarana berupa ancaman siber (cyber threat), serangan siber (cyber attack), propaganda siber (cyber propaganda), dan lain sebagainya. Unsur kelima berupa dampak yang diharapkan oleh si kelompok penyerang berupa cyber power dan cyber violence, berupa disrupsi layanan digital publik, kebocoran data, kerugian ekonomi, ancaman psikologis ketakutan, ketidakpastian, dan keraguan, hingga kerusakan fisik.

Terakhir, menurut Manggalany, adalah korban, baik kelompok masyarakat sipil, swasta, industri, organisasi, pemerintah, dan non-pemerintah, penyelenggara infrastruktur digital maupun fisik.

Menurut Manggalany, pemerintah harus memetakan motivasi dari serangan siber apabila ingin menetapkan sebagai tindakan terorisme, yakni mengungkap apakah ada kepentingan ideologi atau politik dan ekonomi sekaligus. Serangan siber jenis ransomware merupakan salah satu modus utama serangan terorisme siber di mana tujuan teror dan keuntungan ekonomi penyerang dapat dicapai dalam satu kali aksi.

“Apalagi secara teknis, serangan ransomware ke PDNS 2 sudah memenuhi semua kriteria unsur terorisme siber,” tegas dia.

Dia menegaskan, apabila sang pelaku memiliki motivasi ideologi dan politik atas serangannya, maka pemerintah memiliki tantangan baru, mengingat sesuai UU tentang terorisme, penanganan terorisme dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang belum memiliki kemampuan kontra terorisme siber, termasuk pengampu serta penyelenggara layanan di semua sektor infrastruktur vital, termasuk PDNS 2, belum memiliki protokol kontra terorisme siber.

“Perlu ditegaskan bahwa manajemen krisis siber untuk mengatasi serangan terorisme siber berbeda dengan prosedur protokol untuk merespons aksi kriminal siber biasa. Penindakan atas terorisme siber bisa penegakan hukum sekaligus protokol retaliasi, di mana BNPT bisa melakukan serangan ofensif terhadap aktor teroris dan sumber dayanya,” tegas Manggalany lagi.

Stay Connected
16,985FansLike
2,458FollowersFollow
61,453SubscribersSubscribe
Berita Pilihan
Berita Terkait