BANDA ACEH – Kondisi perekonomian di akhir pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dinilai sangat buruk. Aktivis senior Arief Poyuono mengungkapkan situasi ekonomi saat ini yang tentu akan menjadi beban bagi pemerintahan Prabowo Subianto mendatang.
“Beras, gula, daging dan BBM impor. Sementara andalan ekspor kita hanya dari CPO (minyak kelapa sawit mentah). Yang lebih gila lagi, mengapa kurs rupiah melemah, itu bukan karena faktor eksternal, tapi karena kegagalan Jokowi dalam mengelola hilirisasi devisa,” kata Arief dikutip RMOL dalam akun Tiktok pribadinya, Jumat (20/9).
Mantan politisi Gerindra itu kemudian membandingkan periode pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan era Jokowi saat ini.
“Pada masa Ibu Megawati, setelah krisis tahun 99, Bu Mega menghasilkan USD 36 miliar, meninggalkan cadangan devisa ke SBY. Setelah SBY memimpin, cadangan devisa kita naik menjadi USD 106 miliar, artinya SBY mencetak USD 70 miliar. Sekarang, cadangan devisa kita di tahun 2024 sekitar USD 140-141 miliar. Artinya apa? Jokowi hanya menghasilkan USD 35 miliar. Bagaimana bisa rupiah kita tidak merosot, jumlah dolar kita sedikit,” paparnya.
Arief juga mencatat utang luar negeri yang meningkat secara drastis di era Jokowi. Ia menyebut nilainya hampir mencapai Rp8 ribu triliun.
“Yang lucu lagi, utang luar negeri itu seharusnya mengalir ke dalam negeri dalam sistem perekonomian, tetapi tidak. Ternyata utang-utang itu digunakan untuk membeli barang-barang dari luar negeri. Misalnya kereta cepat, kita berutang miliaran dolar untuk itu, ternyata bukan uangnya yang masuk ke dalam negeri, tetapi barangnya dibeli di China, sehingga ekonomi China yang berputar,” ungkapnya.
Karenanya, ia sangat prihatin dengan kondisi ekonomi saat ini yang akan menjadi beban bagi pemerintahan Prabowo ke depan.
“Sekarang kita harus membayar utang, bukankah itu akan menjadi beban bagi pemerintahan Pak Prabowo ke depan,” tegasnya.