BANDA ACEH – Menuju akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi), posisi utang pemerintah mencapai Rp8.461,93 triliun per 31 Agustus 2024. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat bahwa posisi utang tersebut setara dengan 38,49 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), dengan jumlah yang turun sedikit sebesar 0,47 persen atau sekitar Rp40,76 triliun dari bulan sebelumnya.
Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, Riko Amir mengatakan bahwa penurunan utang ini kemungkinan disebabkan oleh pembayaran utang yang jatuh tempo pada periode tersebut.
Riko menyatakan, “Jatuh tempo dari utang tersebut tidak terjadi pada satu titik saja, melainkan disebar merata. Jadi, ketika mungkin bulan itu ada jatuh tempo yang sangat besar, maka utangnya akan turun.”
Rasio utang ini, kata Riko, masih berada di bawah batas aman 60 persen PDB sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Keuangan Negara. Dia berharap agar rasio utang tetap dipertahankan dalam koridor yang menurun.
Sebagian besar utang pemerintah didominasi oleh instrumen Surat Berharga Negara (SBN) yang menyumbang 88,07 persen dari total utang, atau sebesar Rp7.452,56 triliun hingga akhir Agustus 2024. SBN ini terdiri dari SBN domestik sebesar Rp6.063,41 triliun dan SBN valuta asing (valas) sebesar Rp1.389,14 triliun.
Rinciannya, SBN domestik terbagi menjadi Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp4.845,68 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebesar Rp1.217,73 triliun. Sementara itu, SBN valas mencakup SUN senilai Rp1.025,14 triliun dan SBSN sebesar Rp364 triliun.
Selain dari SBN, sebanyak 11,93 persen utang pemerintah berasal dari pinjaman yang totalnya mencapai Rp1.009,37 triliun. Pinjaman ini terbagi menjadi pinjaman dalam negeri sebesar Rp39,63 triliun dan pinjaman luar negeri senilai Rp969,74 triliun.