Fenomena hustle culture, yang menekankan kerja keras terus-menerus, kini menarik perhatian generasi muda dan juga ahli psikologi. Gaya hidup yang mengutamakan “hidup untuk kerja” ini dianggap berpotensi merusak baik kesehatan mental maupun fisik kaum muda. Menurut penelitian dari Universitas Gadjah Mada (UGM), postingan prestasi di media sosial dapat memicu perbandingan diri yang berlebihan dan mengganggu keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Hustle culture merupakan konsep yang berkembang dari workaholic dan menekankan pentingnya produktivitas tanpa henti. Di masa kehidupan yang serba cepat ini, tekanan untuk sukses dengan cepat semakin meningkat. Hal ini membuat generasi muda merasa terus bergerak dan berprestasi, seringkali mengorbankan istirahat dan kehidupan pribadi mereka.
Dampak negatif dari hustle culture terhadap generasi muda juga cukup besar. Mulai dari gangguan kesehatan mental dan fisik, perasaan perbandingan yang tidak sehat akibat media sosial, hingga tekanan untuk melebihi batas kemampuan demi meraih kesuksesan. Banyak studi juga menunjukkan bahwa side hustle tidak selalu memberikan hasil yang memuaskan dan malah menambah beban yang tidak perlu.
Namun, ada juga beberapa generasi Z yang mulai menyadari bahwa keseimbangan hidup lebih penting daripada terus menerus bekerja keras. Mereka menganggap bahwa kesehatan mental dan kesejahteraan lebih berharga daripada pencapaian finansial cepat. Oleh karena itu, penting bagi generasi muda untuk tidak terjebak dalam pola pikir hustle culture dan fokus pada keberlanjutan, kepuasan, serta kebahagiaan jangka panjang.
Dengan kesadaran ini, generasi muda dapat menjaga keseimbangan antara produktivitas dan waktu istirahat, serta melihat kesuksesan dari sudut pandang yang lebih sehat. Dengan demikian, mereka dapat menciptakan hidup yang bermakna dan sehat jasmani serta rohani.