25 C
Jakarta
HomeBeritaMenaiknya Harga Beras, Pengeluaran Belanja Menyusut dengan Cepat

Menaiknya Harga Beras, Pengeluaran Belanja Menyusut dengan Cepat

Harga beras yang semakin mahal belakangan ini mulai menjadi keluhan bagi masyarakat. Hal ini dikarenakan beras sebagai bahan pokok utama yang berpengaruh pada pengeluaran untuk pangan.

Seorang ibu rumah tangga bernama Ulfa Arieza (30 tahun) dari Wates, Jawa Tengah, mengatakan bahwa dia biasanya membeli beras eceran di toko kelontong. Saat ini, harga beras rata-rata menjadi Rp 14 ribu per liter, naik dari sebelumnya Rp 12 ribu per liter. Awalnya, kenaikan harga sebesar Rp 2.000 per liter tidak dirasakan begitu besar. Namun, seiring berjalannya waktu, kenaikan harga tersebut mulai terasa karena beras merupakan bahan pangan yang rutin dibeli.

Di sisi lain, Pramdia Arhando (30 tahun), seorang warga Tangerang Selatan, mengatakan bahwa dia biasa membeli beras jenis premium di toko ritel modern seharga Rp 69.500 untuk kemasan lima kilogram. Ia tidak terlalu merasakan adanya kenaikan harga karena harga beras di toko ritel sudah ditetapkan.

Namun, Pramdia mulai khawatir akan kelangkaan beras mengingat masa paceklik beras akan segera tiba. Selain itu, ia juga mendengar bahwa banyak penggilingan padi yang berhenti beroperasi karena tidak mendapatkan pasokan gabah. Ia mengatakan bahwa beras SPHP (Bulog) menjadi semakin sulit ditemukan. Oleh karena itu, ia harus selalu siap dengan stok beras jika situasinya semakin sulit.

Asosiasi Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) mengakui bahwa mereka kesulitan mendapatkan pasokan gabah yang siap digiling menjadi beras. Masa paceklik beras diproyeksikan akan lebih lama dari biasanya. Sehingga, masyarakat akan lebih lama merasakan kenaikan harga beras.

Ketua Umum Perpadi, Sutarto Alimoeso, menyampaikan bahwa suplai gabah di akhir tahun ini masih jauh dari kebutuhan penggilingan secara nasional. Oleh karena itu, sebagian penggilingan memilih untuk berhenti produksi sampai pasokan kembali normal. Dia juga menyebutkan bahwa banyak penggilingan padi yang tidak aktif, bahkan sekitar 40 persen.

Perpadi mencatat bahwa jumlah penggilingan padi kecil saat ini mencapai 160 ribu unit yang mendominasi. Sedangkan penggilingan padi kelas menengah ada sekitar 7.000 unit dan skala besar ada 1.700 perusahaan.

Sutarto menegaskan bahwa saat ini terjadi kelebihan kapasitas penggilingan padi di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh produksi padi yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan industri penggilingan padi di setiap daerah. Rata-rata produksi beras dalam lima tahun terakhir mencapai sekitar 30 juta ton, dengan capaian tahun 2022 sebanyak 31,5 juta ton.

Referensi: Republika

Stay Connected
16,985FansLike
2,458FollowersFollow
61,453SubscribersSubscribe
Berita Pilihan
Berita Terkait